Catatan Pengalaman Hidup Syahroni, alumni PM Ummul Quro Al-Islami angkatan 11 di Maroko, Afrika Utara.
Tahun lalu, 1 Ramadhan 1435 H jatuh bertepatan pada tanggal 29 Juni 2014 M. Selama sebulan ke depan, seorang santri asal Jakarta alumni pondok pesantren UQI Bogor ini akan menjalankan ibadah puasa di negeri orang, Maroko. Negeri yang mendapat julukan “Negeri Seribu Benteng” merupakan negeri yang sangat jauh dari pandangan Indonesia. Konon katanya dinamakan negeri seribu benteng dikarenakan banyaknya jumlah tembok berukuran tinggi disana-sini yang menjadi tameng mereka dalam menghadapi musuh. Disini, Ramadhan dilaksanakan pada tanggal 30 Juni, sehari setelah masyarakat Indonesia telah menyantap hidangan berbuka puasa. Bakwan, kolek, cendol dan menu berbuka puasa lainnya. I Miss it!
Santri tersebut adalah diriku, santri UQI angkatan 11 (Intensity) kelahiran Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, puasa yang hanya ku tempuh selama sebelas sampai dua belas jam di Indonesia, tapi disini sampai berdurasi lima belas sampai enam belas jam! Waktu yang cukup membosankan tentunya bagi diriku. Bukan hanya itu, waktu yang sangat melelahkan untuk tidak makan dan minum itu dihiasi oleh cuaca yang sangat panas. Belakangan aku tahu, Ramadhan disini hadir pada musim panas, dan musim panas disini jelas jauh berbeda dengan musim panas di Indonesia. Bisa dibayangkan, jika di Indonesia suhu terpanas maksimal 35°C, sedangkan disini angka tersebut adalah suhu panas minimalnya. Meskipun hari pertama puasa belum dimulai, cerita teman-teman kami mengenai pengalaman mereka berpuasa di sini menjadikan kami semakin tertantang. Lelah, lesu dan capek, itulah gambaran keseharian mereka menjalankan ibadah puasa di negeri ini.
Puasa kali ini dan mungkin dua Ramadhan kedepan, aku ditemani oleh teman-temanku yang berasal dari benua Afrika. Senegal, Nigeria, Gambia, Pantai Gading dan Ginea, kesemuanya membawa adat istiadat dan karakteristik yang berbeda-beda. Hanya kami orang Indonesia yang berasal dari Asia. Kami ditempatkan oleh pihak kampus satu atap dengan mereka.
Pukul tiga lewat tiga, kami semua bangun tidur untuk menyantap hidangan sahur hari pertama. Santapan kami, baik santapan sahur maupun berbuka, selama Ramadhan ini bernuansa makanan Afrika, khususnya makanan Maroko. Tak secuilpun ku temui dan ku cicipi makanan-makanan Indonesia. Semua itu dikarenakan dapur dan seisinya dibawah kekuasaan mereka. Sifat keras mereka, terutama dalam hal makanan membuat kami seamakin merasa lelah dalam menghadapi ibadah ini.
Waktupun berjalan pukul empat lewat lima belas. Waktunya kami menunaikan salat subuh. Ku ambil segayung air dan kugunakannya untuk berwudhu. Oh iya, disini seluruh aktivitas ibadah mereka jalani dengan berlandaskan mazhab Maliki. Sehingga tidaklah aneh bagi kita, apalagi bagi mereka, berwudhu hanya menggunakan segayung air.
Awalnya, kami tidak terbiasa berwudhu hanya dengan menggunakan air sebanyak itu. Mereka menggunakan air sebanyak itu untuk berwudhu, karena memang mazhab Maliki tidak mengenal air yang bernama mustamal. Berbeda dengan mazhab kita, Imam Syafii, air sedikit yang digunakan berkali-kali tidak akan sah digunakan untuk bersuci. Sekalipun mazhab kita dan mereka berbeda pandangan dalam hal ini, kita bukan tidak mau menggunakan air itu. Kita tetap menggunakan air itu, hanya saja prakteknya cukup berbeda dengan mereka. Jika cara mereka mendapatkan air dengan mencelupkan tangan ke dalam air tersebut, maka menuangkan air ke tangan ialah cara yang kita miliki.
Dari cara berwudhu seperti ini, kita mendapatkan pelajaran yang sangat penting. Dalam menjalani kehidupan, kita dilarang untuk bersifat boros dan berlebihan. Rasulullah dalam kesehariannya ketika berwudhu hanya menggunakan satu mud air yang kurang lebih seukuran satu cidukan.
Detik demi detik, menit demi menit, sang waktu memaksa kami menuju bilangan 21:00. Ternyata benar sekali apa yang dikatakan oleh teman-teman kami yang berkulit gelap itu. Puasa disini lebih menguras tenaga. Suhu panas matahari sangat menyengat tubuh. Kucuran keringat yang keluar dari pori-pori membasahi setiap kulit yang menempel di badan. Bahkan, bukan hanya dapat menguras tenaga, puasa ala Maroko dapat pula menguras pikiran. Ada yang menghadapi ujian, ada yang membuat skripsi, ada yang menghapal pelajaran dan ada pula yang sedang menghapal alquran. Bagaimana tidak? Tenaga dan pikiran kami terkuras dengan menggabungkan sebagian aktivitas itu dalam keadaan lapar dan haus
Allahu Akbar, Allahu Akbar… Suara azan berkumandang. Kuambil bebarapa butir kurma, segelas teh hangat dan semangkuk makanan khas Maroko yang bernama Harirah. Makanan ini seperti bakwan atau kolak, selalu hadir menemani kita dalam berbuka puasa.
Setelah tuntas berbuka puasa, seperti biasa, ku ambil seciduk gayung air untuk bersuci. Sebagian salat berjamaah dan sebagian lainnya ada yang salat sendirian. Tiga rakaat telah kami kerjakan. Mengingat saat ini musim panas, maka untuk mendengar azan Isya kami harus menunggu berjam-jam sampai pukul 11 malam. Sambil menunggu azan Isya tiba dikumandangkan , sebagian dari kami, termasuk diriku, menonton televisi yang tengah menyiarkan FIFA World Cup. Setelah 90 menit ku habiskan waktuku itu didepan televisi, mengulang hafalan Quranlah aktivitas yang ku pilih berikutnya.
Hal yang menarik kemudian adalah para imam di seluruh masjid yang ada di sini adalah para penghafal alquran. Bukan hanya itu, mayoritas merekapun ketika mengimami, membaca ayat demi ayat dengan lantunan suara yang cukup merdu. Disini orang yang tidak menghapal alquran dilarang menjadi imam masjid. Inilah sedikit perbedaan antara kita dengan mereka.
Satu lagi perbedaan kita dengan mereka. Jika mayoritas penduduk Indonesia menunaikan salat terawih dengan dua puluh rakat, disini seluruh penduduknya menunaikan ibadah tersebut hanya delapan rakaat. Di lima belas hari terakhirpun tidak terdapat doa qunut pada salat witir, sebagaimana yang dilakukan oleh penganut mazhab Syafii. Salat terawih delapan rakaat dan tidak membaca doa qunut adalah ajaran pada mazhab Maliki. Namun sekalipun begitu, bagiku itu semua tidak harus dan tidak ada gunanya jika kita perdebatkan. Sebab masalah seperti ini adalah masalah khilafiah, masalah yang memang harus ada dan menjadi rahmat buat umat manusia.
Setelah salat Isya dan Teraweh telah ditunaikan, kebanyakan dari kita langsung terlelap tidur. Sedangkan aku harus menghibur diriku terlebih dahulu dengan berselancar di dunia maya. Jujur ketika di bulan Ramadhan ini, rasa kangenku terhadap Indonesia sangatlah besar. Wi-fi yang ada di rumah ini aku gunakan untuk melihat acara televisi Indonesia. Lawakan adalah acara favorit yang menemani kebosananku.
Hari kedua telah menanti kami. Ku baringkan seluruh badanku di atas ranjang tidurku dan ku pejamkan kedua mataku. Seperti biasa kegiatan-kegitan seperti hari pertama kami lakukan di hari-hari berikutnya. Pada pagi hari dan sore hari, aku mengulang hafalan Quranku di hadapan temanku yang lebih lancar dan fasih dalam hapalannya. Temanku yang hapalannya lancar ini berasal dari Senegal, Negara Afrika yang persebakbolaannya dapat dikatakan luar biasa.
Di akhir bulan suci ini, kami, para pelajar dan masyarakat Indonesia lainnya yang berada di beberapa kota berkumpul di rumah kami Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang ada di ibukota Maroko, Rabat. Berpakaian khas Indonesia; sarung, baju kokoh dan kopiah bagi pakaian kaum lelaki, serta mukenah putih dan pakaian lainnya bagi perempuan.
Salat Ied berjamaah dengan mereka, mendengarkan khutbah sang khotib dan bersalam-salaman dengan bangga dan haru kami lakukan. Ketupat sayur, opor ayam, buras dan lain-lain menunggu kami untuk disantap. Sepiring penuh ku tuangkan makanan-makanan itu dan kumakan secara lahap. Canda tawa mengiringi tarian sendok dan goyang lidah kami. Sekalipun tiga puluh hari sebelumnya puasa menguras tenaga dan pikiranku, di hari yang suci 1 syawal ini seperti membayar semua itu. Ku ucap syukur pada Allah SWT yang telah memberikanku kebahagian ini.